Loading...

Wacana Daerah Istimewa Surakarta Menurut Mustain Nasoha - Ahli Hukum UIN Surakarta Berbicara

Diterbitkan pada
30 April 2025 11:11 WIB

Baca

Oleh : Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
( Dosen Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Surakarta dan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam )

Wacana pengembalian status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) bukanlah isu baru, melainkan sebuah diskursus konstitusional yang tertunda penyelesaiannya. Sebagai peneliti hukum tata negara, saya, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fasya dan Dosen Ilmu Hukum Fakultas Tarbiyah UIN Raden Mas Said Surakarta memandang bahwa pengakuan kembali atas keistimewaan Surakarta bukan sekadar penghormatan terhadap warisan sejarah, tetapi juga kewajiban konstitusional negara dalam menegakkan asas keadilan, legalitas, dan pengakuan atas pluralitas lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini penting di tengah stagnasi politik hukum terkait daerah khusus, terutama dalam konteks moratorium pemekaran wilayah yang diberlakukan pemerintah pusat. Surakarta tidak sedang mengajukan pembentukan daerah baru, melainkan menuntut restitusi hak yang telah dijamin secara hukum namun diabaikan dalam praktik administratif selama lebih dari tujuh dekade.

  • Dasar Hukum: Legitimasi Yuridis Keistimewaan Surakarta

Saya berpendapat bahwa keistimewaan Surakarta memiliki dasar hukum yang utuh dan sah dalam sistem hukum nasional. Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 serta Surat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 12 September 1949 adalah bentuk besluit (keputusan negara yang otoritatif) yang hingga kini belum pernah secara eksplisit dicabut oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hukum administrasi negara, norma yang bersifat in force (masih berlaku) hanya dapat dibatalkan melalui mekanisme abrogation (pencabutan eksplisit) atau dinyatakan ultra vires (melampaui kewenangan). Karena tidak ada tindakan tersebut, keberadaan norma keistimewaan Surakarta tetap sah secara yuridis.

Prinsip lex posterior derogat legi priori (aturan yang lebih baru mengesampingkan yang lama) tidak dapat diberlakukan secara sembarangan, melainkan hanya jika norma baru secara eksplisit mencabut norma lama. Undang-Undang No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah hanya mengatur aspek administratif, bukan status istimewa suatu daerah. Maka dari itu, tidak terdapat derogation terhadap status keistimewaan Surakarta. Justru, menurut saya, hal ini menunjukkan adanya legislative omission (kelalaian legislasi), bukan pencabutan secara sah.

  • Bukti Historis: Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 sebagai Kontrak Konstitusional

Menurut saya, Piagam Kedudukan yang ditandatangani pada 19 Agustus 1945 merupakan dokumen konstitusional yang memuat bentuk pactum constitutionale (kontrak dasar kenegaraan) antara Republik Indonesia yang baru merdeka dan Keraton Surakarta. Dokumen ini memiliki bobot hukum dan historis karena diteken langsung oleh Presiden Soekarno sehari setelah pengesahan UUD 1945. Dalam piagam itu, secara eksplisit Surakarta diakui sebagai daerah istimewa. Oleh karena itu, pencabutan de facto tanpa de jure (landasan hukum formal) menurut saya merupakan pelanggaran terhadap prinsip legal certainty (kepastian hukum) dan due process of law (proses hukum yang adil).

Dalam konteks constitutional morality (moralitas konstitusional), negara tidak boleh mengabaikan kesepakatan dasar pendirian republik. Ketika piagam tersebut tidak dihormati dan dibiarkan hilang relevansinya tanpa proses hukum formal, maka terjadi breach of foundational agreement (pelanggaran terhadap kesepakatan dasar). Negara seharusnya melakukan reaffirmation (penegasan kembali) terhadap isi piagam tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusional dan moral terhadap sejarah bangsa.

  • Kecelakaan Konstitusional dan Kelalaian Legislasi

Menurut saya, tidak adanya undang-undang tentang keistimewaan Surakarta hingga hari ini adalah bentuk omission of constitutional duty (kelalaian dalam menjalankan kewajiban konstitusional). Sementara Yogyakarta telah memiliki UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Surakarta justru dibiarkan dalam legal limbo (ketidakjelasan status hukum) selama lebih dari 75 tahun. Ini bukan sekadar kelalaian administratif biasa, tetapi constitutional accident (kecelakaan konstitusional) yang berdampak sistemik terhadap keadilan sejarah dan status hukum daerah.

Dalam kerangka constitutional rectification (perbaikan konstitusional), negara memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan afirmatif guna menghidupkan kembali norma yang tertidur. Dalam doktrin transitional justice (keadilan transisional), negara perlu memperbaiki ketidakadilan struktural terhadap entitas yang secara historis telah diakui dalam struktur kenegaraan. Maka, reaktivasi keistimewaan Surakarta bukan hanya langkah politik, melainkan bentuk restorative constitutionalism—pemulihan tatanan hukum konstitusional berdasarkan prinsip keadilan, sejarah, dan penghormatan terhadap kesepakatan awal negara.

  • Menurut Saya: Desentralisasi Asimetris adalah Fondasi Konstitusional Negara Multikultur

Dalam pandangan saya, pemberian status keistimewaan kepada Surakarta sepenuhnya dapat dibenarkan secara teori dan hukum. Dalam perspektif teori desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization), seperti yang dijelaskan Jean-Claude Thoenig (2005), negara tidak bisa memperlakukan semua daerah secara seragam karena perbedaan konteks historis, kultural, dan struktural. Prinsip ini sejalan dengan asas "lex specialis derogat legi generali" (aturan khusus mengesampingkan aturan umum), artinya pengakuan terhadap daerah istimewa justru adalah bentuk penghormatan terhadap kekhususan, bukan pelanggaran terhadap prinsip negara kesatuan.

Pengakuan terhadap daerah yang memiliki karakter khusus, seperti Surakarta, adalah bentuk nyata dari pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang merupakan norma konstitusional terbuka (open constitutional clause), memberi ruang bagi hukum untuk mengakui keunikan daerah berdasarkan sejarah dan budaya.

Saya berpendapat bahwa status keistimewaan Surakarta bukanlah bentuk pelanggaran konstitusi, melainkan perwujudan prinsip living constitution (konstitusi yang hidup), yaitu suatu pandangan yang mengakui bahwa konstitusi harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan konteks sejarah. Sebagaimana dijelaskan Cheryl Saunders, konstitusi harus menampung aspirasi sosial dan rekognisi historis.

Dalam konteks ini, pengakuan terhadap DIS adalah implementasi dari legal pluralism (pluralisme hukum) sebagaimana dikemukakan Prof. Jimly Asshiddiqie, bahwa dalam satu sistem hukum nasional bisa hidup berbagai sistem hukum lokal atau adat. Ini adalah pengejawantahan prinsip constitutional identity (identitas konstitusional) suatu daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Dalam Pandangan Saya: DIS sebagai Rekonstruksi Hak Konstitusional yang Terabaikan

Dalam pandangan saya, penolakan atau pengabaian terhadap keistimewaan Surakarta merupakan bentuk constitutional omission (pengosongan konstitusional) yang telah berlangsung lama. Padahal, secara hukum positif, tidak ada norma dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara eksplisit melarang pengakuan daerah istimewa. Artinya, tidak terdapat lex prohibitiva (hukum yang melarang), sehingga secara ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini), tidak ada halangan yuridis untuk mewujudkan pengakuan terhadap DIS.

Lebih lanjut, saya menilai bahwa pembubaran kewenangan pemerintahan lokal Kasunanan pasca-kemerdekaan tidak melalui prosedur hukum yang sah. Tindakan tersebut mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip due process of law (proses hukum yang adil dan sesuai aturan), serta bertentangan dengan asas equal protection of the law (perlakuan yang setara di depan hukum).

Tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap Kasunanan Surakarta kala itu mencerminkan praktik extra-legal appropriation (pengambilalihan di luar hukum), yakni pemindahan kewenangan dan aset yang tidak melalui proses legislasi atau yudikasi, yang semestinya diatur melalui transitional justice mechanism (mekanisme keadilan transisi). Maka, perjuangan pihak Keraton Surakarta melalui jalur judicial review bukanlah nostalgia feodalisme, tetapi upaya mengatasi constitutional grievance (keluhan konstitusional) dan membela hak konstitusional yang diabaikan.

Dalam bingkai negara hukum (Rechtsstaat), menurut saya bahwa setiap pelanggaran hak harus dikoreksi, dan setiap ketidakadilan historis harus diselesaikan dengan pendekatan restorative constitutionalism (konstitusionalisme pemulihan). Dengan demikian, perjuangan DIS bukan hanya soal status politik administratif, tetapi juga soal justice as fairness (keadilan sebagai keseimbangan), seperti dirumuskan oleh John Rawls.

Penutup: Panggilan Moral dan Tanggung Jawab Konstitusional

Berdasarkan kajian yuridis, historis, dan teori ketatanegaraan, jelas bahwa Surakarta memiliki dasar kuat untuk diakui kembali sebagai Daerah Istimewa. Instrumen hukum yang pernah menetapkan keistimewaan Surakarta—seperti Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 dan Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945—tidak pernah dicabut secara sah oleh negara. Ketidakjelasan status yang terjadi hanyalah akibat dari kelalaian administratif dan kekosongan regulasi, bukan hasil pencabutan legal. Oleh karena itu, pengaktifan kembali keistimewaan Surakarta tidak memerlukan pemekaran daerah baru, melainkan cukup dengan merekognisi norma hukum yang masih berlaku, sesuai prinsip presumption of validity dalam hukum publik.

Secara teoretis, gagasan Daerah Istimewa Surakarta sejalan dengan prinsip desentralisasi asimetris yang diakui konstitusi melalui Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ini bukan bentuk privilese aristokratis, melainkan pengakuan terhadap sejarah, peran perjuangan, dan identitas lokal yang sah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih dari itu, pengakuan terhadap keistimewaan Surakarta adalah wujud nyata dari keadilan konstitusional (constitutional justice), sebagaimana ditegaskan oleh teori living constitution yang menghormati realitas sosial dan sejarah bangsa.

Saya berharap Pemerintah Pusat, DPR, dan masyarakat luas dapat memandang wacana ini sebagai bentuk restorasi sejarah dan keadilan hukum, bukan semata agenda lokalistik. Dengan memperkuat keistimewaan Surakarta secara yuridis dan politis, Indonesia tidak hanya mengoreksi kekeliruan masa lalu, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap pluralisme, keadilan, dan penghormatan terhadap warisan budaya bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mahfud MD, “Konstitusi adalah jiwa bangsa.” Maka sudah sepatutnya Surakarta, sebagai salah satu ruh sejarah republik ini, mendapatkan tempat terhormat dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia melalui pengakuan resminya sebagai Daerah Istimewa Surakarta.

Edit By: (Nug/Humas)