Loading...

Presiden Prabowo Teken Perpres Nomor 66 Tahun 2025, Begini Telaah Kritis Mustain Nasoha, Ahli Hukum UIN Surakarta

Diterbitkan pada
25 Mei 2025 11:11 WIB

Baca

Mustain-Nasoha

Oleh:

Ahmad Muhmad Mustain Nasoha

Dosen Ilmu Hukum, Fakultas Tarbiyah, UIN RMS Surakarta dan Direktur PUSKOHIS

 

Dalam dinamika rule of law yang menjadi fondasi negara hukum modern, aparat penegak hukum seperti jaksa memegang peran sentral dalam menjamin tegaknya due process of law dalam setiap tahap sistem peradilan pidana. Namun demikian, dalam praktiknya, jaksa sering menjadi sasaran berbagai bentuk tekanan—baik fisik, psikis, hingga politis—yang dapat mengganggu independensi dan profesionalitas mereka dalam menjalankan tugas konstitusional. Sebagai respons atas fenomena tersebut, negara melalui Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia, yang ditandatangani pada 21 Mei 2025. Perpres ini secara progresif memperluas cakupan perlindungan jaksa dengan melibatkan aktor-aktor strategis negara seperti Kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI), menandai babak baru dalam relasi antara institusi hukum dan pertahanan negara.

Namun, pelibatan unsur militer dalam ranah perlindungan sipil mengundang diskursus konstitusional mengenai prinsip supremasi sipil dan potensi pelanggaran prinsip ultra vires ketika kewenangan lembaga negara melampaui batas yang telah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, Perpres ini bukan hanya layak untuk diapresiasi dari sisi semangatnya, tetapi juga perlu dikaji secara kritis dari perspektif checks and balances dalam desain kelembagaan negara demokratis. Pendek kata, regulasi ini bukan semata-mata urusan teknokratis tentang perlindungan jaksa, melainkan juga mencerminkan pertarungan wacana antara stabilitas institusional dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip constitutional governance dalam kerangka negara hukum Indonesia.

Secara normatif, Perpres ini menjadi perluasan dari semangat yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menyatakan bahwa jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain. Jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sampai 6 Perpres 66/2025, memperkuat posisi tersebut dengan memberikan perlindungan menyeluruh: terhadap pribadi, keluarga, tempat tinggal, dan kerahasiaan identitas jaksa. Perlindungan semacam ini sangat dibutuhkan untuk membangun profesionalisme institusi penuntutan di tengah meningkatnya intimidasi terhadap jaksa dalam kasus-kasus strategis (Indonesia Law Journal, 21(2), hlm. 139). Selain itu, pelibatan lembaga lain seperti BIN, BAIS TNI, dan Kepolisian, menunjukkan adanya pendekatan sinergis antar-institusi negara dalam memastikan keamanan jaksa. Ini menjadi representasi implementasi prinsip whole-of-government approach dalam sektor hukum ( Journal of Defense and Strategic Studies, 29(1), hlm. 105).

Meskipun niat Perpres ini baik, sejumlah aspek mengundang kritik. Salah satunya adalah pelibatan TNI dalam konteks perlindungan penegak hukum sipil. Pasal 4 dan Pasal 9 memperjelas bahwa perlindungan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga dapat bersifat strategis, termasuk dalam hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan keamanan negara.

Namun, pelibatan TNI dalam tugas yang bersifat nonmiliter berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan pasca-1998. Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI hanya dapat terlibat dalam operasi militer selain perang atas keputusan politik negara. Ketika pelibatan TNI dilakukan tanpa dasar darurat militer atau tanpa keputusan politik yang tegas, maka hal ini membuka ruang deviasi dari prinsip civil supremacy ( Journal of Southeast Asian Governance, 16(4), hlm. 323). Pengalaman berbagai negara pasca-otoritarianisme menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam domain sipil, jika tidak dikendalikan secara ketat, dapat mengarah pada militerisasi kebijakan publik, termasuk dalam sektor hukum. Hal ini perlu dikaji ulang secara lebih hati-hati, agar tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola demokratis.

Masukan lainnya Perpres ini terdapat pada aspek anggaran dan akuntabilitas. Pasal 11 menyatakan bahwa semua bentuk perlindungan akan dibiayai oleh anggaran Kejaksaan RI. Dalam kondisi fiskal yang terbatas, kewajiban ini dapat membebani fungsi dasar kejaksaan seperti pembiayaan penyidikan, pendidikan jaksa, dan peralatan pendukung litigasi. Lestari dan Yusuf (2023) menyebut bahwa alokasi anggaran Kejaksaan pada tahun 2024 hanya mencakup 67% dari kebutuhan ideal operasional lembaga penuntutan (Indonesia Journal of Legal and Financial Studies, 7(3), hlm. 90). Jika ditambah beban pembiayaan keamanan, hal ini berpotensi menurunkan efektivitas institusi secara keseluruhan.

Di sisi lain, tidak adanya mekanisme pengawasan atau evaluasi terhadap permintaan dan pelaksanaan perlindungan juga menjadi titik lemah regulasi ini. Tidak disebutkan otoritas mana yang dapat memverifikasi apakah permintaan perlindungan jaksa berdasar atau tidak. Hal ini berpotensi membuka ruang moral hazard. Siregar (2024) menyebut bahwa ketiadaan sistem akuntabilitas dalam pelaksanaan peraturan presiden berisiko menciptakan executive overreach yang sulit dikontrol oleh lembaga lain (Constitutional Law Review, 12(1), hlm. 80).

Sebagai akademisi di bidang hukum, saya memandang bahwa Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 merupakan tonggak penting dalam membangun sistem perlindungan terhadap penegak hukum, khususnya jaksa, di tengah semakin kompleksnya tantangan hukum dan sosial yang mereka hadapi. Perpres ini menandai komitmen negara untuk melindungi integritas profesi jaksa sebagai aktor penting dalam sistem peradilan pidana. Kehadiran ketentuan yang secara eksplisit melibatkan institusi negara seperti Polri, TNI, BIN, dan BAIS menunjukkan keseriusan negara dalam menjamin rasa aman bagi para jaksa, terlebih dalam menangani perkara-perkara strategis yang berisiko tinggi.

Namun demikian, dalam tradisi good governance, niat baik dalam sebuah regulasi harus diimbangi dengan prinsip proporsionalitas, kejelasan norma, akuntabilitas anggaran, dan kontrol kelembagaan. Agar tidak menjadi overreach atau bahkan berpotensi disalahgunakan, regulasi seperti ini perlu mendapat penyempurnaan. Saya mengusulkan lima poin perbaikan berikut:

  1. Pembatasan Pelibatan TNI secara Tegas dan Proporsional
    Keterlibatan TNI dalam konteks perlindungan sipil harus dibatasi secara eksplisit untuk situasi extraordinary circumstances, seperti ancaman terorganisir atau terorisme. Hal ini untuk menjaga prinsip civil supremacy dan mencegah pelanggaran prinsip non-interference militer dalam ranah penegakan hukum sipil. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, melalui Posse Comitatus Act (1878), militer dilarang melakukan penegakan hukum domestik kecuali atas persetujuan Kongres.
  2. Pembentukan Unit Evaluasi Independen
    Dibutuhkan unit evaluasi independen lintas kelembagaan yang bertugas melakukan monitoring dan impact assessment terhadap implementasi Perpres ini, termasuk efektivitas perlindungan, pelaporan insiden, dan pengawasan pelaksanaan. Di Kanada, Office of the Independent Police Review Director menjadi lembaga independen yang menilai keluhan publik terhadap pelibatan aparat keamanan, yang bisa dijadikan model awal adaptasi kelembagaan serupa di Indonesia.
  3. Revisi Pengaturan Pendanaan agar Tidak Dibebankan Sepenuhnya pada Kejaksaan
    Pasal 11 Perpres menyatakan bahwa pendanaan perlindungan berasal dari anggaran Kejaksaan RI. Hal ini berpotensi membebani institusi yang justru sedang dilindungi. Diperlukan skema pendanaan lintas sektor, misalnya melalui pos anggaran Kemenkopolhukam atau Kementerian Keuangan, sebagaimana praktik joint budgeting di Jerman, yang membagi anggaran antarinstansi untuk perlindungan aparatur negara secara kolektif.
  4. Perlindungan Khusus terhadap Whistleblower Internal di Kejaksaan
    Perpres belum mengatur perlindungan terhadap jaksa yang menjadi pelapor internal dugaan korupsi atau pelanggaran etis di lembaga mereka sendiri. Hal ini sangat penting untuk menjaga integritas institusional. Di Korea Selatan, Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC) memberikan perlindungan hukum menyeluruh bagi aparat yang melaporkan pelanggaran di lembaganya.
  5. Penambahan Klausul Transparansi dan Pelaporan Publik
    Perpres perlu mengatur mekanisme pelaporan tahunan mengenai berapa banyak jaksa yang memperoleh perlindungan, jenis ancaman, dan bentuk intervensi yang dilakukan. Transparansi ini memperkuat kepercayaan publik. Di Swedia, Ombudsman memiliki kewenangan untuk menilai dan mempublikasikan laporan tahunan terhadap perlindungan profesi publik secara independen.
    Dengan mempertimbangkan lima hal di atas, Perpres 66 Tahun 2025 dapat berkembang dari sekadar regulasi simbolik menjadi kerangka hukum yang fungsional, adil, dan akuntabel dalam melindungi jaksa sebagai ujung tombak penegakan hukum. Sejalan dengan prinsip checks and balances, penguatan perangkat hukum seperti ini tidak hanya memperkokoh wibawa Kejaksaan RI, tetapi juga memastikan bahwa semua langkah yang diambil tetap dalam bingkai konstitusi dan prinsip negara hukum demokratis.

 

(Nug/ Humas) Foto: Mustain