SINAR-Jumat (23/12), Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (Puskohis) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengadakan Bedah Buku Nasional yang berjudul Kitab Manahij wa Turuq Al Bahs Al Fiqhi karya Ulama Besar Yaman yaitu Syekh Dr. Abdullah bin Abu Bakar Balfaqih tentang Metodologi Berfatwa dan Ijtihad menurut Empat Mazhab, Acara yang diadakan di Aula Fakultas Syariah UIN Raden Mas Surakarta ini diikuti tidak kurang dari 351 peserta secara luring dan ratusan lainnya secara daring dari beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia.
Ketua Penyelenggara Iqbal, dalam sambutannya mahasiswa UIN Surakarta yang juga merupakan pengusaha muda ini mengucapakan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya acaranya ini,
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya, jumlah peserta yang membengkak mungkin menjadikan sebab kurang nyamannya peserta semua, walaupun demikian kami bersyukur karena acara ini diminati dan mendapatkan sambutan yang sangat antusias baik dari dalam UIN Surakarta maupun mahasiswa kampus-kampus lainnya.”
Pemateri pertama sekaligus pembedah dalam kegiatan ini disampaikan oleh Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H., M.A., Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (Puskohis) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta ini adalah murid langsung dari Syekh Dr. Abdullah bin Abu Bakar Balfaqih Ketika menempuh Pendidikan di Fakultas Syariah Universitas Imam Syafii, Hadramaut, Yaman. Dalam paparannya
“Kitab berjumlah 154 halaman ini adalah kitab yang luar biasa, didalam kitab ini dibahas tentang metodologi fatwa, istimbat dan metodologi ijihad dari empat mazhab Fiqih yaitu Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki, dengan mempelajari kitab ini kita akan faham bahwa metodologi ijtihad dari masing-masing ulama tadi berbeda-beda, dengan begitu ketika kita membaca kitab masing-masing mazhab maka kita tidak akan salah.” Kata dosen yang fokus mengkaji Tata Negara ditinjau dari Fiqih Pebandingan Mazhab ini.
“Menuqil dari pendapat Imam Al Syathibi dalam kitab Al I’tisham bahwa dalam berfiqih ada tiga bagian manusia, pertama adalah Orang-orang yang telah mencapai tingkatan mujtahid, sehingga dapat melakukan penggalian dan perumusan hukum, yang dengan pengetahuannya ia harus melakukan hal yang lebih ia pahami sebagai syariat dari nash agama, kedua, Harus taqlid, yaitu yang belum memiliki kemampuan untuk memahami dan merumuskan hukum fiqih. Kalangan awam ini, ia mesti mengikuti seorang imam mazhab yang melakukan ijtihad, dan yang ketiga adalah Golongan yang belum mencapai kemampuan ijtihad, namun mengetahui cara perumusan putusan fiqih, sehingga dapat membandingkan istinbath para ulama. Ia bisa memiliki kapasitas tersebut di satu bidang tertentu, namun di bidang lain yang belum diketahui, maka ia harus mengikuti ijtihad para imam mazhab sebagaimana kalangan awam.” Kata Gus Mustain ini.
“Penting sekali kita mempelajari Fiqih Perbandingan Mazhab beserta usul fiqih dan qowaidul fiqihnya dengan menguasainya kita tidak fanatik atas mazhab yang kita ikuti. Salah satu ulama saya di Yaman kelahiran Suriah yaitu Syekh Said Ramadhan al Buthi dalam buku Al Lâ Madzhabiyah mengatakan bahwa orang yang belum memiliki kemampuan merumuskan hukum harus mengikuti para salah satu mazhab, namun tidak boleh fanatic dan menggagap bahwa mazhab nya paling unggu dan yang lain tidak ungguh. Dan kitab Manahij Wa Turuq Al Bahs ini adalah jawabannya dan cocok bagi anda pecinta ilmu perbadingan mazhab” Pungkasnya.
Pembicara kedua adalah Kholis Firmasyah, S.Hi., M.Si., Dosen Fiqih dan Usul Fiqih UIN Raden Mas Said Surakarta ini memaparkan tentang pentingnya mengkaji usul fiqih,
“ Saat ini kita hidup di abad 21, dimana dinamika kehidupan manusia terus berkembang seiring pergantian waktu dan peralihan generasi, konstruksi sosial masa lalu dan masa kini sangat berbeda, munculnya permasalahan hukum Islam yang barangkali dahulu belum pernah terjadi. Maka dari itu para akademisi dan mahasiswa perlu memahami kaidah fiqih guna memberikan pertimbangan hukum Islam di masyarakat dalam permasalahan-permasalahan yang baru, terutama kaidah yang berkaitan dengan “kemudharatan harus dihilangkan.”.(الضرر يزال) “
Qa‟idah secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau patokan umum. Kaidah juga diartikan قضية كلية يتعرف منها احكام جزئيّاتها
“ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya”
:Secara istilah Kaidah Fiqih adalah studi kajian yang menekankan pembahasan pada kerangka-kerangka hukum yang bersifat umum, yang dirumuskan berdasarkan adanya dalil atau kesamaan illat (sebab-sebab hukum) dan karakteristik persoalan.” Katanya.
Kaidah Fiqih الضرر يزال berdasar dari sebuah hadis Rasulullah SAW yang berarti “Jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain”. Kata “ضرر” (tanpa alif) dan ”ضرر“ memakai alif) mempunyai makna yang sama namun untuk objek yang berbeda. Kata( ” ِضرار“ (tanpa alif) memiliki arti perbuatan yang dilakukan seorang diri dan berbahaya hanya pada diri sendiri. Adapun “ِضرار ” (memakai alif) memiliki arti perbuatan yang bersifat interelasi (dilakukan dua orang atau lebih) dan bisa berbahaya baik pada diri sendiri maupun orang lain. Makna yang terkandung didalamnya yakni mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala hal. Maka apabila seseorang memahami bahwa Rasulullah SAW tegas melarang untuk membahayakan diri sendiri maupun orang lain, seharusnya bom bunuh diri dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan, apalagi mengatasnamakan agama atau jihad, sebagaimana yang akhir-akhir ini terjadi bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar hingga menewaskan 1 polisi. Bom bunuh diri ini jelas perbuatan yang dholim baik pada diri sendiri (pelaku) dan pada orang lain (polisi sebagai korban). Perbuatan tersebut jelas bertentangan dengan hadis Nabi SAW ضررولا ِضرارلا dan bertentangan .”الضرر يزال“ dengan kaidah fiqih. “ Pungkasnya.
Kontributor: Puskohis
Workshop UI-Green Metrics, WR III UIN Surakarta : Integrasi Agama Dan Isu Lingkungan
5 hari yang lalu - Umum