Loading...

Pendidikan Ekoteologi

Diterbitkan pada
4 Juni 2025 15:00 WIB

Baca

Oleh: Dr. Hakiman, M.Pd. Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah

Gerakan penanaman satu juta pohon matoa di 17 lokasi pada 13 Provinsi yang dilakukan oleh 71.010 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memberikan edukasi kepada masyarakat pentingnya menjaga lingkungan, tentu program ini lahir dari refleksi yang mendalam atas kondisi bumi yang kian hari kian tua dan lemah karena kerakusan dan ketamakan ahlinya. Krisis ekologi global disebabkan oleh adanya kegagalan moral dan spiritual ahlil ardi dalam memaknai hubungan dengan alam. Pendidikan menjadi pilar utama dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat supaya memiliki tanggung jawab dalam membangun kesadaran ekologis. Krisis lingkungan saat ini telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, pemanasan global, polusi, kerusakan hutan, dan isu lainnya berdampak luas pada kehidupan.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022, kenaikan suhu global akan mencapai ambang batas kritis dalam dua dekade jika tidak dilakukan tindakan segera. Sebagian ahli lingkungan hidup eropa ketika tahun 2020 covid-19 merajalela, mereka tidak begitu mengkhawatirkannya karena dampakanya tidak ada bandingannya dengan dampak dari Climate change. Oleh sebab itu, pendidikan dituntut untuk tidak hanya mengajarkan pengetahuan lingkungan secara teknis, tetapi juga membangun kesadaran etis dan spiritual terhadap alam. Ekoteologi mendorong umat manusia untuk mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab religius terhadap alam. Pakar pendidikan, Paulo Freire menyampaikan bahwa pendidikan sebagai sarana transformasi sosial yang dalam konteks ekoteologi bahwa pendidikan memiliki peran strategis untuk membentuk manusia baru yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki kesadaran ekologis yang berakar pada nilai agama.

Adanya dominasi paradigma antroposentris dalam sejarah modern Barat sebagaimana yang diungkapkan oleh White Jr. dalam artikelnya yang terkenal "The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, telah menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam, bukan bagian dari alam. Pandangan ini kemudian memicu terjadinya eksploitasi lingkungan secara besar-besaran. Sehingga krisis ekologi menjadi bagian dari krisis spiritual. Quran Surat Al Baqarah ayat 30 memberi pendidikan kepada kita bahwa manusia sebagai kholifah yaitu sebagai perawat, penjaga dan pelestari bumi. Manusia dilarang membuat kerusakan dimuka bumi sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al- A’raf ayat 56 yaitu “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”. Hal serupa juga diajarkan di agama lain seperti, Stewardship dalam Kristen (Mazmur 24:1), dan ajaran Ahimsa dalam Hindu-Buddha, semuanya menekankan tanggung jawab manusia dalam menjaga alam.

Dalam Al Quran, alam juga disebut sebagai ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana terdapat dalam Q.S. Ali Imron ayat 190 yaitu: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Sehingga, alam bukan hanya benda mati, tetapi memiliki makna spiritual. Menjaga alam berarti menjaga ayat-ayat-Nya. Di Indonesia, nilai-nilai Islam tentang lingkungan mulai diimplementasikan seperti Eco-Pesantren di Ponpes Al-Ittifaq dan darut pesantren tauhid Bandung serta pesantren Nurul Haramain (Lombok) yang mengajarkan pertanian organik dan energi terbarukan sebagai bagian dari ibadah. Di lingkungan pesantren dan sekolah Islam, program eco-pesantren mulai dikembangkan, dengan mengelola sampah, menanam sayuran, dan mengaitkannya dengan konsep khalifah fil ardh begitu juga dengan program “Green School” di Bali yang menggabungkan pembelajaran ekologi, seni, dan spiritualitas lokal.

Pendidikan ekoteologi, menuntut pendekatan holistik, yaitu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual kedalam pembelajaran lingkungan. Dalam pelajaran Agama Islam, siswa dapat diajak memahami ayat-ayat yang berbicara tentang alam dan tanggung jawab manusia, alasannya misalnya seperti dalam Q.S. Ar-Rum: 41. Dalam pelajaran IPA, bukan hanya membahas ekosistem secara teknis, tetapi juga mengaitkan keberlanjutannya dengan etika dan tanggung jawab moral. Di perguruan tinggi juga tidak kalah penting untuk membumikan ekoteologi, karena trend green campus atau kampus hijau bukan hanya soal gedung ramah lingkungan dan taman yang rindang, melainkan juga menyangkut keterlibatan aktif seluruh sivitas akademika, terutama mahasiswa dan dosen. Lebih dari sekadar simbol, tetapi kampus hijau merepresentasikan komitmen lembaga pendidikan dalam mendidik generasi masa depan yang peduli lingkungan dan mampu mengambil tindakan nyata untuk melestarikan bumi.

Dosen dapat mengintegrasikan isu lingkungan kedalam berbagai mata kuliah, tidak hanya yang berhubungan langsung dengan prodi ilmu lingkungan, tetapi juga bidang lain. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas (RM) Said Surakarta, sebagai perguruan tinggi keagamaan yang kaya dengan kepakaran ilmu Agama Islam sangat strategis sekali dengan isu-isu lingkungan hidup. Mahasiswa adalah aktor utama dalam gerakan kampus hijau, keterlibatan mahasiswa bisa diwujudkan melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang lingkungan. Melalui organisasi ini, mahasiswa bisa melakukan kampanye, aksi penanaman pohon, daur ulang, hingga advokasi kebijakan kampus yang lebih hijau.

Mahasiswa dapat dilibatkan dalam proyek riset atau tugas akhir yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup. Kegiatan seperti lomba inovasi lingkungan, gerakan bersih kampus, hingga audit energi bisa menjadi bentuk sinergi nyata yang melibatkan seluruh sivitas akademika dalam merespon ekoteologi. Pendidikan ekoteologi menjadi pendekatan strategis dalam menjawab krisis lingkungan dari sisi spiritual dan nilai. Dengan mengintegrasikan kesadaran tauhid dan tanggung jawab ekologis dalam proses pembelajaran, sehingga merek tidak hanya dibekali dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kesadaran moral dan spiritual sebagai penjaga bumi. 

Editor: (Nug/Humas) Foto: Hakiman (04/06/2025)