Loading...

Dua Dimensi Puasa

Diterbitkan pada
18 Maret 2024 08:01 WIB

Baca

Untuk apa manusia hidup? Pertanyaan ini sejatinya mempersoalkan tujuan hidup manusia. Al-Qur'an menjelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al-Dzâriyât (51): 56.). ‘Ibâdah (pengabdian) dalam konteks ini perlu dimaknai secara luas, yaitu segala sesuatu, baik perkataan ataupun perbuatan, yang dicintai dan diridai Allah. Ibadah dalam pengertian ini tentu saja memuat nilai-nilai kesalehan, baik kesalehan individual ataupun kesalehan sosial. Seorang Muslim di mana pun berada perlu mengarahkan tujuan hidupnya agar menjadi manusia yang saleh individual dan saleh sosial sekaligus, dan secara seimbang. Puasa sebagai ibadah wajib secara filosofi senantiasa mengandung dua kesalehan ini. Hal ini setidaknya tampak dari hal-hal yang harus dihindari seorang Muslim ketika berpuasa. Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaaf dalam Al-Taqirāt al-Sadīdāh fī al-Masā’il al-Mufīdah (Bagian Ibadah, 448-455) membagi dua kategori perkara yang harus dihindari orang yang berpuasa. Kategori pertama disebutnya Muḥbiṭāt, yaitu segala sesuatu yang dapat membatalkan pahala puasa, dan kategori kedua disebutnya Mufṭirāt, yaitu segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan sekaligus membatalkan pahalanya. Dijelaskanya bahwa Muḥbiṭāt didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad (jilid 2; hadis no. 441) dan Ibnu Majah (hadis no. 1689) tentang banyaknya orang yang berpuasa tapi hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja, karena tidak berhasil menghindarkan diri dari Muḥbiṭāt.

Ilustrasi (Freepik)

Berdasarkan riwayat al-Dailami (Kitab al-Firdaus Jilid 2, hadis no. 197) dan juga disebutkan Imam al-Manawa dalam Faiḍ al-Qadīr-nya bahwa Muḥbiṭāt mencakup lima perkara, yaitu Ghībah (mengumpat atau ujaran kebencian), Namīmah (mengadu domba atau memprovokasi), Kazib (berdusta atau hoaks), memandang yang haram atau memandang yang halal tapi dengan syahwat, dan sumpah palsu. Kelima perkara ini masuk dalam kategori Muḥbiṭāt yang apabila dilakukan orang yang berpuasa maka batal pahala puasanya, meski puasanya itu sendiri tidak batal selama masih mengikuti syarat dan rukunnya. Hikmah filosofis di balik Muḥbiṭāt ini sejatinya puasa itu mengandung nilai-nilai sosial agar yang berpuasa menjadi orang yang saleh.  Pergaulan sosial manusia di era digital ini terjadi dalam ruang maya yang disebut media sosial dengan beragam platformnya, baik berbasis web atau aplikasi, semisal Facebook, Instagram, YouTube, WhatsApp, Twitter, Tiktok dan sebagainya. Orang yang berpuasa tak jarang menggunakan media sosial ini dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Untuk menjadi Muslim dengan derajat kesalehan sosial yang tinggi, ia sejatinya harus bijak dan arif dalam menggunakan media-media sosial ini. Pesan-pesan yang diindikasi sebagai ujaran kebencian, tindakan provokasi, berita bohong, menonton pornografi dan hal-hal lain yang masuk dalam kategori Muḥbiṭāt seyogyanya ia hindari agar ibadah puasanya menghasilkan kesalehan yang berdimensi sosial. Karena bagaimana pun juga Muḥbiṭāt ini dapat merusak pahala puasa yang justeru ibadah puasa itu merupakan sarana untuk melahirkan manusia saleh, bukan manusia salah yang merusak tatanan sosial masyarakat. Adapun Mufṭirāt, perkara yang membatalkan puasa, meliputi delapan perkara, yaitu murtad (keluar dari Islam), haid dan nifas bagi perempuan, menjadi gila, mabuk, bersetubuh di siang hari, masuknya benda ke dalam lubang-lubang manusia, onani, dan muntah yang disengaja. Kedelapan Mufṭirāt ini merupakan kajian fiqih yang berdimensi individual. Siapa pun orang berpuasa, semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari, ia harus menahan diri dari Mufṭirāt ini, jika tidak ingin puasanya menjadi batal. Mufṭirāt itu harus dihindari orang yang berpuasa agar puasanya sah secara fiqih. Harapannya adalah agar puasa yang dilakukannya menjadi ritual yang bernilai ibadah individual, yaitu berhubungan langsung dengan Allah, dan hanya Allah dan yang bersangkutan yang mengetahui bahwa puasanya itu menghindari Mufṭirāt atau tidak.  Akhirnya, kita semua dapat mengintrospeksi diri, apakah puasa yang dilakukan sepanjang Ramadhan ini mampu membentuk pribadi-pribadi Muslim yang saleh secara individual dan sosial sekaligus! Ataukah puasa kita hanya sekadar rutinitas yang cukup berdimensi individual! Sementara ujaran kebencian, tindakan provokasi, berita bohong, menonton pornografi dan hal-hal lain yang masuk dalam kategori Muḥbiṭāt masih kita lakukan di media sosial! Wallahu a’lam.

Sumber: https://arina.id/khazanah/ar-SMsNn/dua-dimensi-puasa