Loading...

Renungan Makna Transformatif Isra’ Mi’raj

Diterbitkan pada
27 Januari 2025 10:24 WIB

Baca

RENUNGAN MAKNA TRANSFORMATIF ISRA’ MI’RAJ

Oleh: Dr. H. Zainul Abas, S.Ag., M.Ag.

Wakil Rektor 1 UIN Raden Mas Said Surakarta

Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjid Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, dan perjalanan Nabi menuju Allah SWT di sidratul muntaha. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 1. “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya  sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”. Pernyataan penting dari ayat di atas adalah bahwa Allah memperlihatkan kepada Nabi Muhammad mengenai tanda-tanda kebesaran Allah di wilayah antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha yang telah dianugerahkan kepada umat manusia.

Sebelum Nabi menjalani perjalanan tersebut, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi terlebih dahulu dibersihkan hatinya oleh Malaikat Jibril dan diisilah iman dan hikmah ke dalam hatinya. Dengan demikian, ketika Nabi berproses dalam perjalanan tersebut Nabi dalam keadaan memiliki keimanan dan kebijaksanaan yang sangat tinggi.

Perjalanan Isra’ Mi’raj adalah perjalanan besar yang dilakukan oleh Nabi dalam memahami berbagai tanda-tanda kebesaran Allah di dunia ini dan perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan tersebut sangat istimewa, karena akan menjadi fondasi yang kokoh bagi Nabi untuk menyampaikan risalah dari Allah SWT baik mengenai bagaimana mengelola kehidupan di dunia ini maupun bagaimana meyakinkan keagungan dan kemahakuasaan Allah SWT kepada umat manusia.

Satu hal terpenting dari peristiwa Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah perintah wajib bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat sebanyak lima kali dalam sehari-semalam. Diwajibakannya ibadah shalat tentu bukan tanpa maksud, tetapi memiliki makna yang besar orang-orang yang melaksanakannya. Pertanyaannya adalah apa makna dan manfaat ibadah shalat ini bagi umat Islam dan bagi keberlangsungan kehidupan manusia pada umumnya?

Ibadah shalat seolah-alah hanya menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan saja. Namun, ibadah shalat sesungguhnya memiliki makna yang luas, baik secara individual maupun secara sosial. Berdasarkan penyebutan shalat dalam Al-Qur’an maka shalat memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi  melaksanakan perintah Allah SWT. Kedua, fungsi memperbaiki akhlak manusia. Ketiga, fungsi untuk melakukan perbaikan di dalam kehidupan sosial.

Fungsi yang pertama, yaitu melaksanakan perintah Allah, terlihat sebagai kebutuhan dan kepentingan individual. Pada tataran ini, ibadah shalat merupakan ritual yang menunjukkan pola komunikasi antara manusia dan Tuhan. Dengan ibadah ini, seseorang menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Ia dapat berfungsi menggugurkan kewajiban sehingga terhindar dari dosa, selain itu juga dapat berfungsi menambah amal shaleh atau amal kebaikan bagi orang yang melakukan. Orang yang melakukan shalat dengan baik akan mendapatkan balasan kebaikan dari Allah SWT di akhirat nanti dalam bentuk terhindar dari neraka dan akan masuk ke dalam surga.

Dengan kata lain, shalat adalah melaksanakan perintah dari Allah SWT yang pada akhirnya akan berkonsekuensi kebaikan bagi manusia di akhirat nanti. Mengenai perintah ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Q.S. Al-Baqarah(2):43, Al-Huud(11):114, Ibrahim(14):31, Al-Israa’(17):78, Al-Baqarah(2):227, Al-Maidah(5):12 dan sebagainya. Selain itu, orang yang melaksanakan shalat akan mendapatkan balasan dari Allah dalam kehidupan di dunia ini. Allah akan memberikan rahmat dan rizki bagi orang yang menunaikannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nuur(24):56 bahwa orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Rasul akan diberi rahmat oleh Allah SWT. Dalam Q.S. Faathir(35):29 juga disebutkan bahwa  orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezekinya akan dimudahkan dalam urusan perniagaan atau perdagangannya sehingga tidak akan merugi.

 Fungsi kedua adalah membentuk karakter, memperbaiki kepribadian atau membangun budi pekerti yang baik (akhlak karimah). Shalat menunjukkan bahwa seorang hamba memiliki keterikatan kepada Allah SWT yang bisa berimplikasi mengarahkan seseorang mesti melakukan perbuatan yang baik kepada sesama manusia. Shalat adalah dzikrullah atau mengingat Allah. Hal ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Q.S. An-Nisa’(4):101 dan Q.S. Thaaha(20):14. Dengan mengingat Allah SWT, manusia dituntun untuk melakukan perbuatan yang tidak melanggar semua perintah-perintah-Nya.

Fungsi pembentukan karakter yang sangat besar adalah bahwa shalat akan mencegah seseorang untuk melakukan kemunkaran atau perbuatan munkar sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Ankabuut(29):45, “…wa aqim ash-shalata, inna ash-shalata tanha anil-fakhsya’i wal-munkar…, dirikanlah shalat karena sesunggunnya shalat akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Pernyataan ini dapat dimaknai bahwa shalat berfungsi memperbaiki hati (qalbu) dan pikiran (aqal) manusia.

Dalam persepektif spiritual, hati manusia bisa melahirkan akhlak yang baik (mahmudah) dan bisa juga melahirkan akhlak yang buruk (madzmumah). Setiap perbuatan manusia tergantung pada niatnya. Niat adalah perpaduan antara keinginan dalam hati dan pikiran. Kalau niatnya kotor maka seseorang akan melakukan sesuatu yang kotor. Kalau niatnya baik, maka seseorang tentu berusaha untuk melakukan kebaikan. Shalat adalah ritual yang dapat berfungsi untuk memperbaiki hati dan pikiran manusia. Seseorang yang rajin melakukan shalat dengan baik mestinya juga memiliki sikap dan perilaku yang baik. Ia mestinya dapat menghilangkan berbagai penyakit rohani yang ada di dalam hatinya, seperti iri, dengki, hasud, takabbur, munafik dan sebagainya. Jika penyakit-penyakit hati tersebut masih ada dan bahkan mengakar dalam hatinya, maka shalatnya berarti belum mampu melakukan perubahan kebaikan di dalam hatinya.

Fungsi yang ketiga adalah fungsi perbaikan kehidupan. Dalam hal ini shalat berfungsi menumbuhkan kesadaran untuk meningkatkan kepedulian sosial dan melakukan perubahan sosial. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’un disebutkan bahwa orang-orang yang shalat tapi lalai dengan shalatnya maka ia akan celaka. Pernyataan itu dimaksudkan bagi orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang tidak memperhatikan nasib orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Di dalam Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama disebutkan bahwa yang dimaksud lalai dalam shalatnya adalah orang-orang yang melakukan shalat tetapi shalatnya tidak sampai ke dalam hatinya dan juga tidak sampai kepada perilakunya. Artinya, shalat mereka belum sampai memberi pengaruh kepada perbaikan sikap dan perilakunya, serta belum mampu mengaplikasikannya dalam memperbaiki keadaan.

Ibadah shalat haruslah berimplikasi kepada semakin tingginya kepedulian seseorang untuk penyelesaian problem kemanusiaan, seperti problem kemiskinan, problem penanganan anak-anak yatim dan terlantar, problem ketidakadilan, problem penindasan, dan problem perselisihan di antara sesama manusia. Jika shalat mampu sampai pada tataran ini, maka shalat telah menjadi kekuatan transformatif di masyarakat. Ibadah yang semula hanya merupakan kebutuhan pribadi menjadi shalat transformatif, shalat yang mampu memberi inspirasi dan memunculkan kesadaran untuk melakukan perubahan perbaikan di masyarakat.

------------------------------------