Setiap Muslim selalu berharap agar setiap tahunnya dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, yang merupakan salah satu rukun Islam. Sebagai ibadah mahdah (murni beribadah langsung kepada Allah karena diketahui sebagai pokok ajaran agama), melaksanakan ibadah puasa tentu saja harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan tentang ibadah ini. Dalam bahasa abad ke-21, pengetahuan ini dapat disebut dengan “literasi puasa” yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai informasi dan pengetahuan yang dimiliki individu terkait kewajiban ibadah puasa. Mengapa ibadah puasa perlu literasi? Dalam kitab berbentuk bait syair berjudul Shafwah al-Zubad karya Ahmad bin Ruslan (w. 844 H) yang memuat 1.080 syair dalam bidang fikih, disebutkan: “Dan setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amal-amalnya ditolak, tidak diterima” (syair no. 9). Kitab syair ini telah diberi komentar (syarh), di antaranya oleh Muhammad bin Ahmad al-Ramli (w. 1004 H) dengan judul Ghayah al-Bayan Syarh Zubad Ibn Ruslan yang kemudian direviu (muraja’ah) oleh Ahmad Abd al-Salam Syahin. Pereviu mengatakan: “Dan penjelasannya adalah bahwa fokus beramal dalam perkara-perkara syariat adalah ittiba’ (mengikuti) terhadap Sunnah Nabi, atsar para sahabat dan para tabiin. Barangsiapa beramal syariat tanpa ittiba’ ini, atau karena tidak tahu, maka amalnya itu tertolak”. Dari sini jelas bahwa oleh karena ibadah puasa adalah bagian dari syariat Islam, maka melaksanakannya harus didasarkan pada ittiba’ dan pengetahuan tentang puasa. Inilah yang kemudian dalam konteks ini disebut literasi puasa. Literasi puasa sejatinya merupakan pengetahuan-pengetahuan keagamaan tentang puasa yang harus dimiliki seorang Muslim, agar puasanya itu berbasis pengetahuan, dan kemudian diterima sebagai amalan ibadah. Pengetahuan-pengetahuan ini di antaranya menyangkut tafsir puasa, hadis puasa, fiqih puasa, akhlak puasa dan bahasa puasa. Tafsir puasa merupakan literasi seseorang tentang puasa yang berbasis pengetahuan yang bersumberkan dari tafsir-tafsir al-Qur’an. Saat ini dunia digital sudah menyediakan berbagai aplikasi tentang tafsir yang dapat diinstal di gawai, seperti aplikasi Al-Bahits al-Qur’ani: Mausu’ah Qur’aniyyah dari pengembang nuqoyah.com dan aplikasi Qur’an Kemenag dari pengembang lajnah.kemenag.go.id. Melalui kedua aplikasi ini, kita cukup mengetik kata kunci dalam bahasa Arab atau Indonesia, misalnya “al-shaum” (puasa), maka akan muncul ayat al-Quran beserta tafsirnya. Pun demikian tentang literasi hadis puasa, khalayak saat ini cukup menginstal aplikasi Al-Bahits al-Haditsi dari pengembang sunnah.one, maka ketika mengetik kata Arab “al-shaum”, akan muncul berbagai hadis tentang puasa dengan beragam predikat hadis dan sumber kitab hadisnya. Literasi puasa berikutnya adalah pengetahuan tentang fikih puasa. Play store milik Google telah menyediakan banyak aplikasi yang memuat konten-konten kitab fiqih berbahasa Arab dalam bentuk PDF. Misalnya saja aplikasi al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah milik pengembang Muhammad Azhar yang memuat 45 jilid pembahasan tentang fiqih hasil karya Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait. Atau aplikasi Kitab Salaf milik Tajuz Zuhud Ansya’ alumni Pesantren Lirboyo Kediri yang memuat beragam kitab, termasuk kitab-kitab fiqih dalam beragam mazhab. Aplikasi ini tentu saja memuat beragam kitab fiqih dalam bahasa Arab dengan format PDF, yang tentu saja diperlukan kemampuan bahasa Arab untuk dapat memahaminya. Adapun literasi tentang akhlak puasa, telah ditemukan beberapa kitab yang berbicara tentang adab dan etika dalam berpuasa. Aplikasi Kitab Salaf milik Tajuz Zuhud Ansya’ telah menampilkan 22 kitab PDF tentang puasa, yang di antaranya kitab Bughiyah al-Insan fi Wazaif Ramadhan karya Abul Faraj Abdurrahman bin Rajab yang memuat beberapa pembahasan tentang sabar dalam berpuasa, sikap derma dalam bulan Ramadan serta doa-doa yang dibaca pada malam Lailatul Qodar. Literasi akhlak puasa ini perlu diketahui agar seorang Muslim dapat melaksanakan ibadah puasanya dengan khusuk dan khidmat, dengan menghindari hal-hal yang membatalkan puasa yang disebut Mufhtirat, dan sekaligus menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat mengurangi pahala puasa yang disebut Muhbithat. Berbagai aplikasi dan web yang tersedia saat ini memang sudah menyediakan literasi puasa, baik terkait tafsir puasa, hadis puasa, fiqih puasa atau pun akhlak puasa. Akan tetapi, semua literasi berbasis digital ini hanyalah merupakan sumber-sumber digital yang memerlukan ilmu-ilmu studi Islam untuk memahaminya. Seseorang tidak cukup belajar agama, termasuk literasi puasa, hanya mengandalkan sumber digital. Dalam tradisi belajar menurut Islam, seseorang pembelajar tetap harus melakukan proses belajar dengan perantara seorang guru. Bakr bin Abdullah Abu Zaid di dalam Hilyah Thalib al-‘Ilm menuturkan bahwa: “prinsip dalam mencari ilmu adalah dengan talqin (penyampaian informasi secara dikte) dan talaqqi (penerimaan informasi secara langsung) dari para guru dan juga melalui mutsafanah (penjelasan maksudnya) dari para syaikh, sebab pengambilan ilmu itu dari lisan (mulut) para ulama, bukan dari lembaran atau isi buku” (2002: 30-31). Hal ini karena belajar ilmu agama berbeda dengan belajar ilmu pada umumnya. Para ulama selalu menekankan pentingnya sanad (mata rantai) keilmuan, agar kebenaran ilmu agama dapat terjaga, dengan memperhatikan kredibilitas guru ataupun konten yang disampaikannya.
![]() |
Proses literasi agama melalui mata rantai keilmuan yang disebut sanad ini penting untuk konteks digital saat ini, di mana orang cenderung mencukupkan diri dengan belajar dari sumber-sumber digital yang tersedia di internet. Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Tarikh Baghdad, sebuah kitab dengan 24 jilid yang memuat ribuan hadis dengan biografi para perawinya, meriwayatkan perkataan Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) dari ‘Abdan, muridnya, bahwa “Isnad (proses pematarantaian ilmu) menurut saya itu bagian dari agama, sebab sekiranya tidak ada isnad, orang akan berbicara sekehendaknya” (2004: 164; Jilid 6). Pandangan Ibnu al-Mubarak di atas menegaskan pentingnya berliterasi dalam beragama melalui sanad, termasuk menyangkut literasi puasa. Orang boleh saja belajar ilmu puasa dari sumber digital berupa internet, tapi semua itu perlu dikonfirmasikan ke seorang guru yang kredibilitas keilmuan agamanya dapat dipercaya. Sumber digital hanya digunakan sebagai informasi awal saja, selanjutnya menyangkut kebenaran informasi itu, tetap harus ditanyakan kepada ulama ahlinya yang merupakan warisan para nabi. “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Nahl: 43). Puasa itu ibadah, dan ibadah itu harus berbasis literasi agar diterima Allah SWT.