Loading...

"Bonsai Solutif": Bincang Santai Keadilan Restoratif

Diterbitkan pada
16 Juni 2023 00:00 WIB

Baca

SINAR-Kamis, (15/6), Kejaksaan Negeri Sukoharjo bekerja sama dengan laboratorium Rumah Restorative Justice “Griya Suluh” Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengadakan sosialisasi bertajuk “Bonsai Solutif: Bincang Santai Keadilan Restoratif”. Acara ini diadakan di Laboratorium Rumah Restorative Justice “Griya Suluh” Fakultas Syariah UIN Raden Mas said Surakarta secara luring dan daring melalui zoom serta live streaming youtube. Dalam kegiatan tersebut turut serta dihadiri Camat Kartasura, Danramil Kartasura , Kapolsek Kartasura, Lurah, kepala Desa, BPD dan LPMK se-kecamatan Kartasura serta beberapa Lembaga Internal Kampus UIN Raden Mas Said Surakarta. 

Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Mas said Surakarta, Dr. Ismail Yahya, M.A., menyampaikan bahwa di Harvard Law School - Harvard University terdapat word of justice (ungkapan yang mengandung keadilan) yang salah satunya diambil dari Surah An Nisa ayat 135. Dalam ayat tersebut kita harus menegakkan keadilan dan menjadi saksi bahkan kepada diri kita sendiri, kepada karib kerabat kita dan kepada ibu bapak kita. Ada ungkapan dari St. Augustine “Unjust Law Is No Law At All” hukum yang tidak adil bukan hukum sama sekali. Dalam Islam ada Al Adl, Al Mizan, dan Al Haq bahkan di Asmaul Husna ada asma Allah Al ‘Adl. Dr. Ismail Yahya, M.A. berpesan bahwa penegak hukum harus adil, pemimpin yang adil akan dapat naungan Allah di Yaumul Kiyamah dan masuk surga.  

Acara dilanjutkan dengan bincang santai yang dimoderatori oleh Fery Dona, S.H., M.Hum. Materi pertama, disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo Rini Triningsih, S.H., M.Hum. Pertama, iamenyampaikan mengenai pengertian, tugas, wewenang dan fungsi Jaksa.  Rini juga menegaskan bahwa restorative justice ini sepertinya halnya bonsai, sejenis tanaman yang dikerdilkan agar lebih sederhana tanpa mengurangi unsur keindahannya. Nah, filosofi tersebut menginspirasi acara Bincang Santai dalam rangka mensosialisasikan keadilan lewat jalur restoratif. Artinya, mengecilkan permasalahan yang besar melalui jalan perdamaian tanpa mengubah substansi dan nilai hukum. “Salah satu keberhasilan kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan” tambahnya. Dimana dalam media penal Kejaksaan berwenang melakukan mediasi penal kejaksaan memiliki peranan sebagai mediator, fasilitator dan menggali kebutuhan korban.

Lebih lanjut Rini Triningsih menjelaskan bahwa Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menyeimbangkan antara kepastian hukum (rechtmatigheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid) dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan berdasarkan hukum dan hati nurani. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan karena suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si pelaku itu sendiri pada masa lampau dan masa depan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif juga melihat dari kepadatan atau overcrowding narapidana dalam Lapas/Rutan. Hal tersebut merupakan masalah yang besar bagi negara. Besarnya jumlah narapidana dalam suatu negara mengakibatkan negara mepunyai beban yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup para narapidananya. Dengan demikian, anggaran negara yang diperuntukkan untuk membiayai para narapidana tersebut juga semakin besar.

Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo ini menegaskan bahwa terdapat unsur umum Restoratif Justice, dasar hukum, Perja Restorative Justice dan adanya perluasan syarat. Pentingnya pedoman penggunaan Restorative Justice, dimana hanya berlaku pada Tindak Pidana bersifat ringan yang lebih sering untuk memulihkan kejahatan karena kerugian individual. Ia menekankan bahwa perlunya kualitas dan alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif. Inti dari Restorative Justice adalah memulihkan harmoni atau mewujudkan pemulihan penderitaan dan membangun kembali hubungan dalam masyarakat. Terakhir beliau mengutip perkataan Jaksa Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, S.H., M.M “rasa keadilan tidak ada di dalam KUHP dan KUHAP,  tapi ada di hati nurani”.

Materi kedua disampaikan oleh Suciyani, M.Sos., yang memaparkan Restorative Justice perspektif Hukum Islam. Mengutip surah An Nisa’ 128 dan 135, ia menyampaikan bahwa Islam mengajarkan keadilan dan saling memaafkan. Maqāṣid al-sharī‘ah sebagai tujuan hukum Islam yaitu kemaslahatan (kesejahteraan manusia) sesuai dengan tujuan Restorative Justice. Tentunya keadilan dan memaafkan bernilai ibadah, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan akan dimuliakan Allah SWT. Suciyani menegaskan bahwa keadilan itu adalah persoalan keserasian/harmoni antara hak dan kewajiban. Restorative Justice dalam Islam sendiri dikenal dengan istilah Iṣlāh (perdamaian), Al ‘afwu (pemaafan dari korban atau keluarganya) dan Tahkim (perdamaian dengan mediator), ketiganya hanya berbeda dari segi konsep akan tetapi dalam segi implementasinya sama. Ketiga konsep ini tentunya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Ia kemudian mengutip pendapat Umar bin Khattab r.a “Kembalikanlah penyelesaian perkara, diantara sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu menimbulkan rasa tidak enak”. Terakhir Suciyani menyampaikan perkataan bahwa persatuan dan kesatuan, serta hubungan harmonitas antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan rahmat bagi manusia.

Sumber: Fakultas Syariah