28 October 2022

Tasawuf, Toleransi dan Perdamaian Indonesia

Oleh: Rojif Mualim, M.Pd. (Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta)

Menyoal Tasawuf, dapat kita lihat bersama, bahwa kini fenomena kajian dan pengalaman Tasawuf semakin menjadi tren keagamaan. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia saja, tetapi juga menjadi sebuah fenomena global.

Apa Tasawuf itu ?

Menurut Haidar Bagir (2019) Tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam usaha keras dan disiplin spiritual, psikologis, keilmuan dan jasmaniah yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci.

Hal itu didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi: “Di dalam diri manusia ada segumpal organ. Jika baik organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri orang yang memilikinya. Organ tersembunyi adalah hati.” Nabi Kemudian diriwayatkan, dalam sabdanya: “Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hatinya. Jika dia terus menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.”

Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya ditutupi denga lapisan hitam, tentu hal ini akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. yang sesungguhnya cahaya itu selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, sebaliknya dari hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini akan menjadi rusak, bagaikan berkarat dan dikuasai oleh penyakit.

Tasawuf, sebagaimana dikatakan di atas, adalah sesuatu upaya atau metode disiplin untuk menaklukkan al-nafs al-ammarah bi al-su’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu. Menurut Ibnu ‘Arabi, seroang cendekiawan muslim, Mufasir, dan Sufi Kenamaan dari Mursia yang juga terkenal sebagai seorang ahlul fiqhi atau faqih, bermadzhab Maliki, mendefiniskan tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak-Nya agar kita dapat terus memperbaiki kedudukan spiritual kita dan makin mendekat kepada-Nya, melalui kesetiaan pada Al-Qur’an dan syariah-Nya.

Sehingga dalam hal ini, orang yang senantiasa melakukan ritual kegiatan seperti di atas disebut sebagai seorang Sufi, sebab ia telah secara terus-menerus melakukan aktivitas rituistik dan berupaya memelihara cinta dan ketulusan kepada Allah, termasuk ia berupaya berakhlak baik kepada makhluk (Al-Suyuthi).

Melihat Sufi di Indonesia

Sejarah mencatat bahwa para sufi berdakwah penuh dengan kedamaian, menampilkan wajah Islam yang sejuk, mengayomi dan juga melindungi sesama umat manusia. Eksistensi kaum sufi telah tercatat oleh sejarah sebagai kelompok yang memainkan peranan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara. Tak hanya itu, Islam yang kali pertama berkembang di Bumi Pertiwi adalah Sufisme.

Peran para Sufi dalam proses islamisasi ini menurut Ahmad Nurcholish (2017) begitu terang sekali dari adanya kemiripan ajaran sufisme dengan kebudayaan Nusantara pra-Islam. Akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam tampak saling bersimbiose demi berkembangnya syiar Islam.

Ketertarikan dan kenyamanan masyarakat pribumi terhadap dakwah kaum sufi saat itu tidak lain disebabkan oleh skill para dai sufi dalam menyuguhkan wajah Islam yang ramah dan menarik sehingga ajaran yang mereka sampaikan tidak dianggap asing, aneh, dan membahayakan bagi praktik tradisi kepercayaan lokal. Mereka dengan gemilang mampu mendakwahkan Islam tanpa disertai ancaman apalagi tindakan kekerasan sebagaimana yang dipraktikkan sejumlah kelompok “Islam” dewasa ini di Tanah Air.

Oleh sebab itu, marilah kita senantiasa berupaya mengambil berbagai hikmah dari ajaran-ajaran serta kiprahnya para sufi yang saya kira masih sangat relevan untuk kita implementasikan dalam konteks kini, khususnya dalam ranah kehidupan di Indonesia yang memiliki keragaman, agama dan juga sekte di dalam agama itu sendiri.

Teladan Para Sufi yang Harus Kita Contoh.

Tasawuf dapat kita sepakati bahwa telah memiliki orientasi pada pengelolaan batiniahnya dan spiritualitasnya. Tentu ketika salah dalam mengelola keduanya maka akan menyebabkan manusia mengalami keretakan eksistensial yang bermuara pada segenap tata etika moral perbuatannya. Tetapi, ketika sejauh sufisme dan juga spiritualitas menaruh perhatian pada sisi batin fundamental manusia, maka harapannya akan kesadaran moral bisa bergantung padanya. Sehingga toleransi dan kerukunan hidup di antara sesama manusia akan terwujud melalui kesadaran spiritualnya.

Oleh sebab itu, inilah, maka kita akan menemukan urgensi dari ajaran sufi yang mengandung doktrin-doktrin yang sangat bagus demi upaya mengatasi problem-problem kemanusian, sehingga keharmonisan pun terjadi, serta tindakan baik tidak akan hanya terbatas pada wilayah sesama pemeluk agama saja, melainkan terhadap sesama manusia, bahkan sesama makhluk Tuhan secara lahir dan batin.

Sebagai pungkasan, boleh kita simpulkan bersama, bahwa ajaran-ajaran sufi inilah yang kemudian menjadi karakter khas Islam sebagai agama yang damai dan toleran, tanpa kekerasan apalagi peperangan yang berakibat permusuhan. Melalui tasawuf dan para sufi Islam Indonesia inilah akan melahirkan kedamaian, relatif bersih dari konflik serta benturan-benturan antar kebudayaan. Oleh sebab itu, karakteristik unik bagi Islam Nusantara yang bersifat damai ini mari kita contoh dan lanjutkan secara bersama.

Tabik.

(Pernah dimuat di Media Nuralwala, 22/01/2021)

Tasawuf, Toleransi dan Perdamaian Indonesia