14 July 2022

Sekelumit Cerita Menuju Gelar Sarjana

Oleh: Kamila Yasmine Kusuma, S. Hum (Wisudawan cumlaude terbaik Fakultas Adab dan Bahasa pada Wisuda Ke-50 UIN RM Said)

Ada satu pengalaman belajar di kampus yang tidak membahagiakan, tetapi menyimpan kesan tersendiri. Di semester 8 yang seharusnya sudah fokus skripsi, saya malah bertengkar dengan dosen pembimbing yang menyebabkan proses bimbingan tertunda berminggu-minggu. Siapa mahasiswa di dunia ini yang ingin berseteru dengan dosen pembimbingnya? Malah harus sangat dihindari karena bisa jadi penyebab tambah semester. 

Pemantik pertengkaran itu sebenernya hal yang sepele bagi saya, tetapi sangat berarti bagi dosen saya. Singkatnya, saya ketahuan menyembunyikan beliau dari status WhatsApp saya. Jika dilihat dari kacamata umum, orang akan beranggapan bahwa dosen sudah terlalu banyak kesibukan sehingga tidak mungkin sempat membahas yang "beginian". Tapi nyatanya dosen pembimbing saya memang "beda". 

Saat itu beliau sangat marah, terlihat dari diksi yang digunakan ketika mengkonfrontasi saya. Saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, bagaimana beliau menyadari bahwa saya menyembunyikan status WhatsApp darinya. Yang saya lakukan saat itu hanya meminta maaf dan berusaha membujuk. Namun yang namanya orang sedang marah, sekeras apapun saya berusaha membujuknya, beliau tetap tidak terima dan makin marah.

Alhasil, sambil menangis saya menulis sebuah paragraf panjang yang berisi permintaan maaf beserta penjelasannya untuk menutup chat malam itu. Hanya di-"read" saja, dan dua centang biru di pesan terakhir saya membuat saya benar-benar ragu untuk mengonsultasikan draft skripsi bab 4. 

Saya takut jalan saya dipersulit, takut akan dimarahi lebih jauh lagi, takut mendengar perkataan menyakitkan beliau lagi, dan berbagai ketakutan yang diada-adakan. Untungnya, saat itu seorang sahabat menenangkan saya dan mengatakan, "Beliau orangnya profesional, gak akan mempersulit kamu hanya karena masalah personal."

Setelah kurang lebih 6 minggu mendiamkan skripsi, saya beranikan diri chat beliau. Diluar dugaan, beliau menjawab dengan cepat, lengkap dengan masukan-masukan. Bahkan saya langsung diminta melanjutkan bab 5, Wah!

Lalu saya merenungi kembali pertengkaran kami dengan membaca ulang chat-chat lama. Ternyata, kalimat yang terdengar menyakitkan saat itu, sekarang justru terdengar seperti seorang bapak yang tidak terima diabaikan oleh anaknya. Kalimat yang menunjukkan amarah itu terdengar seperti kekhawatiran seorang bapak ke anak ketika ia mengetahui anaknya sedang menyembunyikan sesuatu. Masalahnya adalah saat itu saya tidak menyadari "bonding" yang telah kami bangun, sehingga amarah beliau terasa seperti ancaman atasan terhadap bawahan alih-alih kepedulian keluarga.

Saya melanjutkan skripsi saya dengan penuh semangat, dan beliau pun menyambut tekad saya dengan memberikan input yang diperlukan. Pada saat sidang munaqasyah, beliau sama sekali tidak mencoba menyerang saya, dan saya sangat lega akan hal itu.

Hari ini, kami baik-baik saja. Masih berkomunikasi. Saat meminta izin pada beliau untuk menuliskan kisah kami, beliau bilang sudah lupa kenapa dulu memarahi saya (padahal saya sangat tertekan dan putus asa). Satu hal yang saya tahu, saya telah mendapatkan banyak sekali dukungan dari lingkungan tempat saya tumbuh (jurusan saya). Meski harus dengan cara yang keras seperti itu dan membuat saya sempat merasa tidak akan lulus 4 tahun, saya senang telah tidak menyerah menghadapi masa-masa sulit.

Sekelumit Cerita Menuju Gelar Sarjana