26 November 2022

Konsolidasi Moderasi Beragama di Era Tantangan Polarisasi Keekstreman

Oleh: Shofi’ul Ana  

The highest result of education is tolerance.” — Hellen Keller (Hasan, 2017). Kutipan  tersebut berasal dari seorang pengajar sekaligus aktivis politik berkebangsaan Amerika Serikat. Hellen mengungkapkan bahwa toleransi adalah pencapaian tertinggi dalam pendidikan. Kita dapat bercermin jika toleransi kita minim maka pemahaman dan pengamalan pendidikan pun demikian. Perlu kita ingat satu hal penting bahwa moderasi adalah sebuah proses dan toleransi adalah hasil dari proses tersebut (Kementerian Agama, 2021). Jadi, masing-masing dari kita perlu introspeksi terhadap sikap moderat kita selama ini, sebab kegagalan kita dalam bertoleransi boleh jadi kegagalan kita juga dalam berpendidikan.

Moderasi merupakan jalan tengah sebagaimana ajaran Islam yang selalu sejalan dengan fitrah manusia, selain itu umat Islam dinilai serasi dan seimbang sebagaimana dahulu mampu merenggangkan ketegangan antara Yahudi yang terlalu membumi dan Nasrani yang terlalu melangit (Muhtarom, 2018). Hal ini harusnya juga berlaku di masa-masa sekarang dalam merenggangkan ketegangan antara kedua kubu ekstrem yang mendewakan akal dan yang mendewakan teks-teks sumber keagamaan.

Seharusnya moderasi bukan suatu hal yang baru, dahulu dalam mitologi Yunani kuno juga telah tersiarkan. Moderasi juga dikenal oleh setiap agama, Islam menyebutnya dengan konsep wasathiyah, Konghucu menyebutnya konsep Zhong Yong, Budha menyebutnya konsep Majihima Prapitada, dan Kristen menyebutnya konsep Golden Mean (Kementerian Agama, 2021). Dengan begitu, semua agama dan semua masa sepakat bila mengambil jalan tengah merupakan sikap beragama yang paling ideal.

Bentuk dari usaha yang dilakukan oleh orang yang moderat adalah dengan memahami bahwa sebagai manusia yang dibekali daya pikiran masing-masing, tentu sangat wajar jika menemui perbedaan. Keberagaman adalah naluri duniawi. Hanya saja, orang-orang moderat melihat kepentingan kemanusiaan yang lebih utama ketika mendapati suatu perbedaan, artinya kita melihat yang sepaham dan seagama adalah saudara yang seiman dan orang yang tidak sepaham dan tidak segama adalah saudara sesama manusia (Kementerian Agama, 2021).

Apakah moderasi itu dapat dilakukan oleh semua orang? Tentu tidak! Moderasi akan lebih mudah dipraktikkan oleh orang-orang yang berilmu. Sehingga, orang-orang yang intoleran dapat dipastikan tidak bijak dalam keilmuannya. Mereka mengira keseragaman mampu menutup permasalahan, padahal banyak permasalahan lahir dari keseragaman. Contoh: jika semua orang di dunia ini adalah presiden, lalu siapakah yang akan menanam padi, menjual nasi padang kesukaan kita, atau siapakah nanti yang akan memilin benang untuk dijadikan baju yang akan kita kenakan. Siapakah? 

Perbedaan menciptakan keseimbangan. Perbedaan aliran membuat kita belajar bagaimana moderasi itu bekerja untuk keseimbangan.

Pemahaman dan pengalaman keagamaan dinilai ekstrem apabila melanggar nilai kemanusian, kesepakatan bersama, dan ketertiban umum. Ketiga prinsip tersebut menjadi penanda bahwa moderasi beragama berarti menyeimbangkan kebaikan yang berhubungan dengan Tuhan dengan kemaslahatan yang bersifat sosial kemasyarakatan (Kementerian Agama, 2021). Intinya ketika tiga hal prinsipiel tadi menyimpang, maka orang atau sekelompok orang dapat dikatakan melanggar batasan.

Menjadi ekstrem tidak membuat agama kita unggul, menjadi ekstrem membuat agama kita tumpul.

Hanya karena kita tidak dapat mengatur cara kita bersikap, kita dapat membawa Indonesia terancam situasi darurat kompleks (Jamaluddin 2022). Bayangkan! Negeri yang kita harapkan berkesempatan umur panjang, ternyata porak-poranda oleh keegoisan kita yang memenuhi dada. Mereka yang berpikir pendek tidak akan sempat menghitung jumlah jiwa yang teraniaya, jumlah budaya yang tak berdaya, jumlah agama yang disirnakan karena gaya, jumlah masa depan anak kecil yang tak sempat bertanya, dan jumlah lainnya, dan jumlah selanjutnya.

“Kalau begitu orang moderat tidak teguh agamanya,” asumsi orang lain. “Orang moderat mudah goyah,” asumsi sebagian yang lain. “Berarti orang moderat tidak memiliki rasa bangga dalam beragama,” kata orang ekstrem. “Dan mereka malas berjihad untuk keyakinannya sendiri,” lanjut mereka. Padahal tidak begitu, Al Quran menjawab keraguan tersebut dari: (1). QS al-Hujurat: 13 mengenai menghargai kemajemukan dan kemampuan berinteraksi. (2) QS anNahl: 125 mengenai ekspresi agama dengan bijaksana dan santun. (3) QS alBaqarah: 185, QS al-Baqarah: 286, dan QS al-Thagabun: 16 mengenai  prinsip kemudahan sesuai kemampuan (Sutrisno, 2019). Jelas asumsi-asumsi sedemikian tadi sangat keliru. Jika dianalogikan, moderasi itu sesederhana seperti ketika kita sedang mencintai seseorang, kalau rasa cinta kita terhadapnya kurang, maka kita sama saja menyakiti hatinya. Namun, ketika kita mencintai seseorang terlalu berlebih, maka kita sama saja menyakiti diri sendiri. Maka mencintai dalam kadar pertengahan bukan berarti cinta itu hilang, termasuk kembali pada konteks tadi: keyakinan keberagamaan kita.

Lantas bagaimana seharusnya kita bersikap? Kita adalah generasi muda yang lebih banyak berkesempatan membawa kendali kemudi arah bangsa dibandingkan mereka yang tak lagi cukup tegak membawa badan. Kita adalah pemuda yang memiliki berlebih wadah untuk mengisinya dengan berbagai ilmu. Kita punya peran. Kita punya tanggungan. Bersikap apatis dan membiarkan isu-isu keekstreman di depan mata lewat dan selesai tanpa berkontribusi apa-apa bukanlah karakter mahasiswa. 

Beberapa universitas di Indonesia juga tidak membiarkan kita diliputi ketidaktahuan. Misalnya, UIN Raden Mas Said, salah satu universitas yang memiliki mata kuliah Wawasan Moderasi Beragama. Jadi, dari sini kita paham bahwasanya pendidikan terlibat dalam proses moderasi, kalau pemuda yang dibekali wawasan moderasi beragama saja dapat membuka paradigma baru, lalu bagaimana jika pengetahuan ini dibekalkan sejak kita masih anak-anak? Tentu akan memiliki efek kuat dalam konsolidasi moderasi itu sendiri. Termasuk dalam masa sekarang, ada juga peranan media massa digital yang dapat kita manfaatkan dalam penerapan sikap moderat untuk penguatan moderasi.

Hal yang paling urgen sebelum penanaman sikap moderat untuk seseorang ialah melalui pendekatan agama dan pendekatan multikultural (Akhmadi, 2019). Pendekatan agama diperlukan sebab untuk memahami agama lain, kita perlu memahami agama sendiri. Kemudian melalui pendekatan multikultural, kita disadarkan bahwa di tengah-tengah kehidupan, kita tidak sendiri, banyak sisi yang memang berbeda, dan memiliki hak untuk dirangkul dalam kesatuan kebhinekaan.

Berdasarkan masalah dan teori yang sudah disampaikan di atas, penulis merekomendasikan suatu konsep moderat dengan bersikap menghargai perbedaan dengan mengakui keberagaman aliran kalam, baik itu yang cenderung liberal, maupun tekstual. Kemudian juga memahami dengan benar rambu-rambu moderasi sebagai wadah keseimbangan tanpa menggoyahkan akidah kita sendiri. terkait dengan pendidikan, penulis ingin menjadikan pendidikan sebagai keterlibatan basis moderasi sejak dini. 

Sikap moderat di tengah tantangan dari dua kubu liberal dan tekstual tidak hanya berhenti sebatas pada pengetahuan saja seperti yang telah didapat dalam pendidikan. Melainkan perlu diimplementasikan betul dengan membangun kesadaran diri untuk melakukan upaya agar dapat untuk meredam bibit-bibit keesktreman.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi,  A. (2019). Moderasi beragama dalam keragaman Indonesia. Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 45-55.

Hasan, N. (2017). Toleransi, Sebuah Catatan Nilai Pendidikan. Dapat diakses pada URL: Toleransi, Sebuah Catatan Nilai Pendidikan Halaman 1 - Kompasiana.com (Akses 3 November 2022 pukul 16.47).

Jamaluddin, J. (2022). Implementasi Moderasi Beragama Di Tengah Multikulturalitas Indonesia. As-Salam: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 7(1), 1-13.

Kementerian Agama RI. (2021). Tanya Jawab Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Muhtarom, M. (2018). Urgensi Penguatan Pemikiran Moderasi Islam dalam Pendidikan Agama di Madrasah. Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan, 12(32), 39-47.

Sutrisno, E. (2019). Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan. Jurnal Bimas Islam, 12(2), 323-348.

Konsolidasi Moderasi Beragama di  Era Tantangan Polarisasi Keekstreman