08 June 2022

Kendali Akal dan Rasa Malu

Oleh: Atin Kurniawati, M.A. Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris

Baru-baru ini dunia maya dibuat terusik dengan unggahan konten seorang tenaga medis perempuan (lebih tepatnya calon tenaga medis) yang mengungkapkan perasaannya ketika harus memasang kateter urine untuk pasien laki-laki yang ganteng dan seumuran. Sebagai seorang yang pernah menjadi pasien, masuk ruang operasi, dan dipasangi kateter urine saya merasa sangat terganggu. Bagaimana bisa kondisi seseorang yang sakit dan butuh pertolongan dijadikan konten yang justru membuat pasien tidak nyaman, dan terlebih lagi mengarah pada pelecehan seksual. Unggahan itu mungkin sebatas seru-seruan untuk tujuan hiburan di media sosial. Namun, sungguh unggahan itu tidak etis dan tentu sudah ada kode etik yang mengaturnya dalam bidang kesehatan. Unggahan itu berpotensi membuat pasien merasa tidak aman, karena tenaga medisnya sempat-sempatnya berpikir kearah godaan fisik saat melaksanakan tugas profesionalnya. Hal ini tentu juga melukai banyak tenaga medis lain yang selama ini bekerja profesional.

Kejadian ini membuka mata kita akan banyak hal terkait pelecehan seksual. Pelecehan seksual bukan hanya dilakukan oleh laki-laki pada perempuan, namun juga sebaliknya. Seringkali perempuan ditempatkan sebagai korban yang sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah dia medapat pelecehan seksual, dia juga disalahkan karena pakaiannya yang terbuka, karena pakainya ketat, dan lain sebagainya. Padahal sebernarnya kuncinya ada pada pelakunya. Sepanjang dia mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan pelecehan seksual maka hal itu tidak akan terjadi. Sebagai manusia dewasa, akalnya sudah mampu membedakan apa yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, serta memutuskan apakah dia akana tergoda atau tidak. Kejadian ini membuka mata bahwa ternyata laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh wanita. Kenapa bisa? Semua kembali pada kontrol diri setiap individu. Sebagai wanita dewasa wajar bisa tertarik dengan lawan jenis, namun akalnya akan mampu mengendalikan tindakan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Apakah menahan diri dan tetap profesional ataukah mengungkapkannya secara verbal maupun nonverbal.

Aturan dan Anjuran dalam Islam

Islam sebagai agama yang paripurna dan menjunjung martabat manusia telah amat rigid memberi aturan yang mampu mencegah terjadinya pelecehan seksual. Pertama, syariat menutup aurat mengajarkan umat Islam untuk menutup bagian tubuh yang secara umum mungkin dapat menjadikan lawan jenisnya tergoda, yakni seluruth tubuh kecuali muka dan telapak tangan bagi wanita dan dari pusar hingga lutut bagi laki-laki. Bagaimana bila ada yang tidak menutup aurat dengan baik di sekitar kita? Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan agar terhindar dari pikiran kotor ataupun keinginan untuk melakukan pelecehan seksual. Tentunya menundukkan pandangan tidak semata-mata melihat tanah sepanjang waktu, namun juga menghindari melihat hal-hal tidak pantas baik secara langsung maupun melalui media lain. Bila tidak mampu menahan diri, maka Islam mengajarkan untuk menikah atau berpuasa. Sebuah anjuran yang rigid dan sangat dapat dipraktikkan. Selanjutnya, tinggal kuasa akal akankah menghindari atau menuruti hawa nafsu.

Dalam ranah keluarga, Islam juga mengatur mengenai hal ini. Salah satunya dengan memisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan pada usia tertentu. Selain itu, anak-anak harus meminta izin untuk masuk ke kamar orangtuanya pada waktu-waktu tertentu dimana biasanya orangtua melonggarkan pakaiannya.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (laki-laki dan perempuan) yang kami miliki dan orang-orang yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada kamu 3 kali (dalam sehari). Yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tigas waktu) itu. Mereka melayani kami, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 58-59)

Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan oleh siapa saja, dalam keluarga, lingkungan pekerjaan bahkan di instansi pendidikan. Keputusan untuk melakukan tindak pelecehan itu ada dalam kontrol diri masing-masing individu. Manusia dewasa dengan akal yang sempurna dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk, itu fitrah dari dari Allah yang oleh karenanya kita kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap tindakan. Seperti apa wujud kontrol diri itu? Kita bisa memulainya dari rasa malu. Rasa malu untuk berbuat buruk bisa menjadi kendali atas keinginan yang salah. Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, adalah, ‘Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari). Seluruh aturan yang telah disampaikan kepada kita adalah dalam rangka menjaga kehormatan manusia sendiri. Dalam hal ini, ketaatan kita pada ajaran agama yang sempurna ini dengan izin Allah semoga mampu menjauhkan kita dari menjadi korban maupun menjadi pelaku perbuatan yang buruk. Tentunya, upaya tertinggi yang kita lakukan adalah dengan senantiasa memohon perlindungan kepada Allah swt.

Godaan Eksistensi di Media Sosial

Media sosial saat ini telah menjadi sebuah kendaraan besar yang dapat dinaiki oleh siapapun. Media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan berbagai konten positif dalam bidang edukasi, menggerakkan roda perekonomian, hingga gaya hidup. Namun, ibarat senjata ia dapat memberi manfaat besar sekaligus membawa kerugian yang besar. Apa yang kita temukan di media sosial akan seperti apa yang kita cari. Aneka garam konten edukasi tersedia, demikian juga konten sampah yang berisi hoax maupun pornografi. Bila kita tidak menggunakan akal sebagaimana mestinya dalam bermedia sosial, bukan tidak mungkin media sosial justru membawa kehancuran.

Siapapun bisa eksis di media sosial melalui kreativitas maupun kontroversi. Banyak insan media sosial yang akhirnya dikenal luas karena konten-kontennya yang edukatif baik dalam ekonomi, kesehatan, gaya hidup sehat, maupun investasi, maupun konten yang menghibur berupa parodi misalnya. Namun, tidak sedikit pula yang dikenal karena kontrovesi, misalnya gaya hidup bebas, flexing (pamer), maupun konten bucin yang sama sekali tidak mendidik.

Sekarang ini semua pengguna media sosial dapat menjadi content creator untuk tujuan monetisasi maupun sekedar seru-seruan. Apapun tujuannya, konten yang telah diunggah di media sosial akan menjadi jejak digital yang abadi meskipun sudah dihapus. Oleh karena itu, ketika memutuskan akan membuat konten, seseorang harus berpikir secara cermat akan dampak apa yang mungkin terjadi. Era media sosial ini memungkinkan informasi tersebar dengan sangat cepat melebihi yang kita perkirakan. Oleh karena berpikir berulang kali sebelum mengunggah konten adalah pilihan yang tepat.

Eksis mendadak di media sosial dan menjadi terkenal agaknya mudah dilakukan saat ini dengan melakukan hal-hal yang nyeleneh  yang mengundang orang untuk melihat. Namun, bila itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ataupun etika profesi, maka jangan pernah terpikir untuk melakukannya karena konsekuensi sosialnya bisa jadi sangat berat, melebihi durasi konten yang mungkin hanya beberapa detik. Sekali lagi, di sinilah kendali akal dan rasa malu dalam bertindak memegang peranan penting.  

Kendali Akal dan Rasa Malu