19 April 2022

Baca Buku Ini, Ingin Saleh Boleh-Merasa Saleh Jangan

*SINAR- **Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan* merupakan buku bunga
rampai yang ditulis keroyokan oleh lima Dosen UIN Raden Mas Said dari
berbagai latar belakang keilmuan dan konsentrasi bidang berbeda-beda.

Ada Abdul Halim dengan konsentrasi keilmuan Kajian Alquran dan Hadis, Nur
Rohman dengan konsentrasi Ilmu Tafsir, Abraham Zakky Zulhazmi dengan
konsentrasi ilmu komunikasi dan kajian media, Nur Tanfidiyah dengan
konsentrasi Tafsir Alquran, sampai Alfin Miftakhul Khairi dengan
konsentrasi Konseling.

Secara garis besar buku ini merupakan kumpulan respons terhadap masifnya
gerakan-gerakan takfiri atau eksklusif yang mengalienasi kelompok berbeda.
Kelompok yang dalam kurun dekade terakhir ini mulai muncul di segala lini.
Baik secara offline; melalui pengajian-pengajian, maupun yang secara
online; melalui postingan-postingan media sosial.

Kehadiran kelompok Islam eksklusif ini dianggap berisiko memberikan
pemahaman Islam dengan cara yang kaku dan keras. Apalagi sampai membuat
agama bisa dipolitisasi, dimaknai dengan tafsir tunggal absolute, sampai
dengan menciptakan embrio ketegangan di tengah-tengah masyarakat.

Ada banyak esai yang menggilitik dalam buku *Ingin Saleh Boleh, Merasa
Saleh Jangan *ini. Salah satunya seperti esai Abraham Zakky Zulhazmi dengan
judul “Dokter, Kiai, dan Cara Belajar Agama Zaman Digital”.

Di esai tersebut, Zakky menjelaskan bagaimana pentingnya melakukan seleksi
untuk menentukan sosok yang bisa jadi rujukan. Seleksi yang menjadi
komponen penting agar kita tidak hanya terpatok hanya pada popularitas,
tapi juga soal kepakaran.

Esai ini pada mulanya diawali dari cerita di kelas. Zakky menganalogikan
suatu situasi, “Andai kan saja kalian sakit keras, sampai harus operasi,
apakah kalian mengizinkan saya mengoperasi kalian?”

Uniknya, semua mahasiswa di dalam kelas menjawab tidak mau. Alasannya
sederhana; si dosen dianggap tidak punya kompentensi untuk melakukan
operasi. Mahasiswa tidak peduli meski si dosen adalah orang terkenal, punya *followers
*banyak, diikuti pandangannya oleh banyak orang, pendapatnya selalu gampang
viral dan dibicarakan banyak orang.

Bagi mahasiswa, urusan kesehatan dan keselamatan nyawa harus benar-benar
diserahkan pada ahlinya. Dalam hal ini tentu yang dimaksud “ahli” adalah
dokter, bukan orang yang terkenal.

Hal inilah yang kemudian—menurut Zakky—perlu untuk diterapkan juga untuk
memilih pakar di bidang agama. Entah dalam wujud ustaz, kiai, atau ulama,
perlu kiranya untuk menentukannya melalui kepakaran, bukan semata-mata
kepopuleran.

Di esai yang lain, yang menjadi judul sekaligus tema besar dari buku ini,
“Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan”, yang ditulis oleh Abdul Halim,
turut serta menjelaskan tentang fenomena hijrah yang dibarengi dengan laku
eksklusif. Merasa diri lebih saleh, merasa lebih saleh, dan orang yang
tidak ikut fenomena tersebut (baca: hijrah) akan dianggap belum menemukan
pencerahan.

Di akhir tulisannya, Abdul Halim bahkan mengutip Gus Mus ketika ketika
bercerita bahwa, “Saya lebih orang salat kesiangan tapi merasa bersalah di
hadapan Allah, ketimbang beribadah semalam suntuk tapi lantas merasa mulia
dan sombong.”

Sebuah pesan yang sama persis dengan judul bunga rampai ini, dan menjadi
pamungkas yang ditulis oleh Abdul Halim. Pesan sederhana yang bisa menjadi
refleksi bagi umat Islam di mana saja: “Ingin saleh itu boleh-boleh
saja—harus bahkan, tapi kalau merasa (paling) saleh, ya jangan.” *(Nughy/
Humas Publikasi)*

Sumber: Safa